Karena pandemi virus Corona yang sedang berlangsung, awan gelap yang menyelimuti Indonesia hampir sepanjang tahun 2020 tampaknya akan dimulai pada tahun 2021. Selain itu, ada strain Covid-19 baru yang lebih menular di banyak negara sehingga menimbulkan keraguan tentang pemulihan ekonomi Indonesia. Hampir semua orang di Indonesia, termasuk yang bergerak di industri transportasi dan logistik, bersikap skeptis.
Carmelita Hartoto, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Indonesia National Shipowners Association (INSA), mengatakan pelaku perkapalan belum yakin dengan tahun 2021 karena varian baru virus Covid-19 sudah menyebar di Singapura, meski ekonomi Indonesia sudah mulai berjalan. membaik sejak dimulainya pandemi Covid-19. Banyak pihak, kata Carmelita, berharap pada tahun 2021 karena perekonomian mulai membaik pada kuartal ketiga dan keempat tahun 2020“. Namun, pemain menjadi ragu-ragu [menghadapi 2021] karena varian baru Covid-19 yang baru-baru ini menyembur dan penularannya yang menurun,” jelasnya. Pada Jumat awal tahun baru, Dia mengatakan, sektor transportasi masih dalam posisi sulit karena masih dibayang-bayangi kerancuan kapan pandemi Covid-19 akan usai. Melihat hal tersebut, perusahaan transportasi mulai memasukkan faktor pandemi Covid-19 ke dalam rencana bisnisnya di tahun 2021. Para pelaku industri transportasi tidak perlu kaget jika perusahaannya tetap stagnan. Namun, dia tidak bisa menjamin tidak akan ada kejutan di industri pelayaran pada 2021. Terutama, galur baru virus corona memaksa Indonesia menutup pintunya dari asing. Akibatnya, Carmelita skeptis dengan vaksin Covid-19 yang memberikan angin segar, karena pengiriman dan pemberian vaksin masih membutuhkan proses yang panjang. Carmelita juga bekerja untuk mengembangkan program National Economic Recovery (PEN) untuk UMKM dan bisnis. Di saat yang sama, pemerintah harus meningkatkan konsumsi masyarakat agar perekonomian Indonesia lebih cepat pulih.
Carmelita meminta bantuan keuangan dan fiskal untuk perusahaan pelayarannya. “Paling tidak beban kerja kita lebih ringan, dan [kita] lebih kompetitif,” ujarnya. Ketua DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ILFA) Yukki Nugrahawan Hanafi membuat prediksi yang hampir serupa. Ia memperkirakan pendirian perusahaan pada 2021 akan sulit karena kekurangan kontainer ekspor. Perusahaan logistik dan pemangku kepentingan telah dikejutkan oleh masalah di sektor ekspor yang diperburuk oleh kekurangan peti kemas sejak kuartal keempat tahun 2020. Ekspor luar negeri secara tradisional sangat bergantung pada perdagangan dengan dan dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Akibat penurunan perdagangan global serta operasi ekspor Amerika Serikat, banyak negara Asia, termasuk Indonesia, mengalami kekurangan peti kemas. Ketika aktivitas impor Amerika Serikat melebihi aktivitas ekspornya, masalahnya menjadi lebih rumit. Hal ini menyebabkan pengiriman barang bekas impor tertahan di Amerika Serikat, serta kekurangan peti kemas secara global. Intervensi pemerintah atas minimnya peti kemas, menurutnya, tidak akan efektif jika hanya memberikan insentif karena dibutuhkan dana yang cukup besar. Dan, saat perdagangan global pulih sesuai dengan mekanisme pasar, situasi pasti akan kembali normal. Yukki percaya bahwa semua rintangan tahun 2020 dapat diubah menjadi pelajaran untuk tahun 2021. Lebih lanjut, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dengan 15 negara, termasuk 10 negara Asean, China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru, dapat dimaksimalkan. Menurut RCEP, ekonomi dari 15 negara menyumbang 29,6% dari populasi global, 27,4% dari perdagangan global, 30,2 persen dari PDB global (produk domestik bruto), dan 29,8% dari investasi langsung asing (FDI) global. “Ini menunjukkan ukuran pasar yang sangat besar,” kata Yukki.
Waktu sangat penting. Siswanto Rusdi, Direktur Lembaga Maritim Nasional, memperkirakan kurva industri pelayaran tidak akan naik signifikan pada 2021 akibat pandemi Covid-19 di lain waktu. Dari sisi industri pelayaran, kata dia, pengiriman peti kemas tidak boleh diabaikan. Karena kelebihan pasokan tenaga kapal, biaya pengiriman tetap rendah hingga saat ini. “Pengangkutan [angkutan] memang meningkat, tapi ini karena adanya ketimpangan pelayaran internasional,” jelas Siswanto. Dikatakannya, karena industri pelayaran Indonesia bukan pemain utama dalam industri pelayaran global, disparitas pelayaran luar negeri tidak serta-merta meningkatkan pendapatan pelayaran nasional. “Karena [industri] perkapalan kami hanyalah agen MLO (operator jalur utama), kami tidak dapat berharap banyak dari kekurangan peti kemas.” Ia mengusulkan agar Indonesia Shipping berbadan hukum mengoperasikan kapal peti kemas dengan kapasitas besar guna memanfaatkan pasar pelayaran peti kemas. “Sekarang adalah waktu dan momentum yang tepat bagi kami untuk bertindak. Apalagi ongkos kapal peti kemas semakin berkurang, ”ujarnya. Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Agus H. Purnomo melaporkan, ongkos angkutan peti kemas atau kargo global naik drastis akibat pandemi Covid-19. Akibatnya, ongkos angkutan laut dengan peti kemas meningkat drastis di hampir semua negara, waktu pengapalan bertambah, peti kemas menumpuk di pelabuhan, dan bongkar muat di pelabuhan menjadi lebih lama. Agus mengatakan Kementerian Perhubungan sudah menyiapkan banyak strategi. Untuk memulai, awasi percepatan proses bongkar muat agar peti kemas dapat didistribusikan dengan cepat dan kapal dapat melanjutkan pelayarannya. Kedua, mempercepat keberangkatan peti kemas dari pelabuhan agar bisa dikembalikan ke depo secepatnya. Kami meminta kementerian terkait membantu Kementerian Perhubungan dalam mempercepat pengiriman peti kemas jangka panjang di pelabuhan. Sebagai MLO, dia meminta ruang kargo agar Indonesia bisa melakukan ekspor. Dia mendesak INSA memanfaatkan kesempatan untuk menggunakan ruang kargo yang diciptakan oleh kurangnya pelayaran internasional untuk perusahaan pelayaran nasional. “Kami juga meminta eksportir mengganti kontainer berukuran 20 kaki,” kata Agus