Sebanyak 80% dari total transaksi e-commerce di Filipina masih menggunakan sistem transaksi COD, menurut laporan dari Asian Development Bank (ADB) dan United Nations Economic and Social Commission (UNESCAP).
Meskipun angka pengguna internet di Filipina cukup tinggi, yakni mencapai 56,5 juta pengguna (data dihimpun dari laporan berjudul “Embracing the E-commerce Revolution in Asia and the Pacific”), faktanya masih banyak orang yang menggunakan sistem transaksi COD dikarenakan minimnya opsi metode pembayaran secara elektronik.
“Kurangnya sistem pembayaran elektronik yang canggih memaksa perusahaan e-commerce untuk bergantung pada model bisnis yang rapuh. Misalnya, COD dapat menyebabkan konflik antara pembeli dengan penjual karena tingkat ketidakpastian pembayaran vendor yang cukup tinggi. Yang kedua adalah soal keamanan pelanggan. Keselamatan pelanggan dapat terancam jika mereka menolak untuk membayar barang yang dianggap kurang memuaskan,” dikutip dari laporan tersebut.
Hal ini bisa jadi merupakan salah satu faktor penyebab mengapa nilai transaksi e-commerce di Filipina masih cukup rendah. Menurut laporan yang dikeluarkan pada tahun 2015 tersebut, hanya 0,5% penjualan ritel di Filipina yang dilakukan secara online.
Selain faktor tersebut di atas, faktor geografi terutama masalah tingkat perekonomian tiap pulau yang berbeda-beda, juga menjadi faktor penghambat naiknya transaksi e-commerce.
Filipina yang merupakan negara kepulauan, memiliki kendala dalam pengiriman dan pengembalian barang yang dibeli secara online.
Dikutip dari laporan tersebut, “sistem pengiriman yang belum berkembang dengan baik menjadi penghalang utama untuk mengembangkan industri e-commerce. Selain itu, faktor geografis juga semakin mempersulit keadaan. Sebagai contoh, Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dan Filipina memiliki lebih dari 7.500 pulau. Sehingga, penetapan biaya pengiriman dengan harga yang efektif sangat sulit untuk dilakukan”.
Sistem e-commerce yang kurang berkembang ini tentunya menimbulkan kerugian besar, khususnya bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
ADB pernah mengeluarkan pernyataan bahwa dengan menggunakan sistem e-commerce, sebuah UKM bisa menggapai pasar global dan juga mampu untuk bersaing di skala internasional.
ADB juga mengatakan bahwa untuk mengembangkan sebuah ekosistem e-commerce yang layak, perlu adanya pendekatan holistik serta upaya dari seluruh stakeholder yang meliputi pemerintah, kementerian terkait, asosiasi bisnis & industri, perbankan, serta para konsumen.
Prioritas utama dalam penetapan kebijakan yang harus segera dilakukan adalah membentuk kerangka dan badan hukum untuk e-commerce, penyesuaian hukum internasional dengan standar nasional, memperluas jaringan akses internet yang cepat & murah, serta yang terakhir mendukung lembaga perbankan atau keuangan untuk menyediakan sistem e-payment.
“Adanya teknologi digital telah mengubah lanskap bisnis e-commerce dan menawarkan serangkaian solusi baru yang sangat modern serta peluang untuk membangun pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif,” ujar Vice President ADB bidang Manajemen Pengetahuan dan Pembangunan Berkelanjutan, Bambang Susantono.
“e-commerce menawarkan peluang untuk memperkecil kesenjangan pembangunan, meliputi aspek demografi, ekonomi, geografi, dan budaya. E-commerce juga diharapkan mampu menghapus kesenjangan antara wilayah pedesaan dengan perkotaan,” tandas Bambang Susantono.
Berdasarkan laporan tersebut, region Asia Pasifik merupakan pasar e-commerce terbesar di dunia dan diyakini akan terus berkembang pesat.
Pada 2015, angka e-commerce relatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Asia Pasifik menyentuh angka 4,5%. Sedangkan di Amerika Utara sebesar 3,1% dan di Eropa sebesar 2,6%.
Pangsa pasar ritel online di Asia Pasifik sendiri diperkirakan akan mencapai sekitar setengah dari total nilai global pada tahun 2020.